BAHASA ROTE OLEH LEKSI INGGUOE

1.1 Gambaran Umum Pulau Rote
Pulau Rote adalah sebuah pulau yang terletak paling selatan di wilayah kepulauan Nusantara yang termasuk bagian dari Nusa Tenggara Timur provinsi dari Kepulauan Sunda Kecil. Pulau Rote memiliki luas wilayah 1.200 km ². Pulau ini terletak di barat daya pulau besar Timor . Di sebelah utara adalah Laut Sawu , dan ke selatan adalah Laut Timor. Untuk sebelah barat adalah Sawu dan Sumba.
Pulau Rote pada dasarnya merupakan pulau yang telah rusak oleh erosi dan abrasi, serta keadaan alamnya sangat gersang (Fox, 1986). Namun kehidupan masyarakatnya sangat kaya akan keragaman mata pencaharian. Sebagian besar orang Rote merupakan petani, sedangkan yang lainnya bergerak di bidang peternakan (peternak), perikanan (nelayan), dan perdagangan hasil bumi lainnya. Rote hanya dari ujung selatan Pulau Timor terdiri dari berbukit-bukit, perkebunan bertingkat, dan kelapa akasia, savana dan beberapa hutan. Para Roti tergantung, seperti Savunese, pada lontar untuk kelangsungan hidup dasar, tetapi juga sebagai suplemen pendapatan mereka dengan memancing dan membuat perhiasan.
Tahun 1772 pulau Rote telah dikelompokan dalam 18 nusak (wilayah kekuasaan) yaitu nusak Ba’a, Bilba (Beluba), Bokai, Delha, Dengka, Diu, Keka, Korbafo, Landu, Lelain, Lelenuk, Loleh, Oenale, Oepao, Ringgou, Talae, Termanu, dan Thie.

1.2 Bahasa Rote
Bahasa Rote merupakan salah satu bahasa rumpun bahasa Austronesia yang termasuk dalam kelompok bahasa Ambon-Timor (Saidi, 1994: 25; bandingkan Kridalaksana, 2008: li). Bahasa Rote digunakan di Pulau Rote dan Pulau Timor yang banyak dihuni oleh orang Rote, beberapa tempat di pulau Timor seperti Kota Kupang, Oebelo, Oesao, Camplong, dan Sulamu bahkan sampai Soe, Kefa, dan Belu.
Menurut De Clercq (1873) dalam ‘Allerlei Over Het Eiland Roti’, Bahasa Rote dibagi dalam 6 dialek yaitu: 1) Thie, Loleh, dan Ba’a; 2) Termanu, Talae, dan Keka; 3) Korbaffo; 4) Landu, Renggou, Oepao, Bilba, Diu, Lelenuk, dan Bokai; 5) Delha dan Oenale; 6) Dengka dan Lelain. Sedangkan menurut Manafe (1889) dalam ‘Akan Bahasa Rotti’, Bahasa Rote digolongkan menjadi 9 dialek yaitu: a) Ringgou, Oepao, dan Landu; b) Bilba, Diu, dan Lelenuk; c) Korbaffo; d) Termanu, Keka, dan Talae; e) Bokai; f) Baa dan Loleh; g) Dengka dan Lelain; h) Thie; i) Oenale dan Delha. Selanjutnya, penelitian bahasa Rote pada abad ke-19 dan 20 oleh Fanggidaej dan Jonker menggunakan penggolongan Manafe.
Di pihak lain Fanggidae dkk (1998) menyebut adanya 4 dialek dalam bahasa Rote yaitu dialek Rote Timur, dialek Rote Tengah, dialek Rote Barat Laut, dan Rote Barat Daya (1998: 9). Namun berdasarkan sejarahnya, dijelaskan bahwa pulau Rote yang terbagi dalam nusak (wilayah kekuasaan) mengakui memiliki dialek bahasa Rote masing-masing, meskipun pernyataan ini melebih-lebihkan keragaman linguistik, tetapi memang terdapat variasi dialek yang amat berdekatan di seluruh Pulau Rote (Fox, 1986: 10). Oleh karena itu masyarakat Rote sampai pada saat ini masih mengakui adanya 18 dialek dalam bahasa Rote.

1.3 Pustaka Bahasa Rote
Bahasa Rote dikenal dan mulai diminati oleh para ahli sejak kedatangan Belanda ke Rote. Banyak tulisan dan karangan yang ditulis tentang sejarah, adat, dan bahasa di Pulau Rote. Untuk kajian bahasa Rote sendiri, diawali oleh D. P. Manafe dalam Akan Bahasa Rotti tahun 1889. Dalam artikel ini ditulis dalam bahasa Melayu dan umumnya tentang bentuk-bentuk variasi dialek dalam bahasa Rote. Artikel ini dimuat dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 38 hal. 634-648.
Tahun 1892, J. Fanggidaej menulis Rottineesche Spraakkunst ‘Tata Bahasa Rote’ yang ditulis dalam terjemahan Belanda. Artikel ini dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 41 hal. 554-571; Fanggidaej (1894) Beberapa Tjeritera Peroepamaan Tersalin Kapada Bahasa Rotti Jang Dinamai Tutui Nakasasamak-Ala yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 44 hal. 450-459; 662-711; Tahun 1895 Fanggidaej menerjemahkan Injil Lukas dalam Bahasa Rote yang diterbitkan di Belanda dengan judul Het Evangelie van Lucas vertaald in het Rottineesche.
Tahun 1890 H. Kern menulis daftar kosa kata Bahasa Rote-Melayu dengan judul Rottineesche-Meleische Woordelijst yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 39 hal. 1-26. Tahun 1893, Nederlandsch-Rottineesche Samenspraken oleh Kern dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 42 hal. 71-102
Tahun 1905, J. C. G. Jonker mengumpulkan cerita-cerita dongeng dalam bahasa Rote dengan judul Rottineesche Verhalen yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 58 hal. 369-401; Over de Eind-Medeklinkers in het Rottineesch en Timoreesch ‘Konsonan Penutup dalam Bahasa Rote dan Bahasa Timor’ dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 59 hal. 263-343 (1906); Rottineesche-Hollandsch Woordenboek ‘Kamus Rote-Belanda’ (1908); Bijrage tot de Kennis der Rottineesche Tongvalen ‘Sumbangan untuk pengenalan bahasa orang Rote’ dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 68 hal. 521-622 (1913); Rottineesche Teksten en Vertaling (1911); dan Rottineesche Spraakkunst (1915).
Tahun 1962, James Fox mulai meneliti disertasinya di Rote, dalam penelitiannya, ia menghasilkan beberapa buku dan artikel tentang bahasa Rote diantaranya Semantic Parallelism in Rotinese Ritual Language dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 68 hal. 215-255 (1971); Rotinese Ritual Language: Texts and Translation (manuskrip yang tidak diterbitkan tahun 1972); Dictionary of Rotinese Formal Dyadic Language (manuskrip yang tidak diterbitkan tahun 1972); dan Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti (1986).
Tahun 1998, Fanggidae dkk meneliti Morfologi Bahasa Rote. Kumanireng dkk (2000) tentang Sintaksis Bahasa Rote (Laporan yang tidak diterbitkan). Selanjutnya tahun 2007, James I. Balukh menulis buku Pelajaran Bahasa Rote untuk SD Kelas 3. Balukh juga menulis beberapa artikel tentang bahasa Rote yang dimuat dalam jurnal linguistik diantaranya: Konstruksi nana- -k dalam Bahasa Rote: Antara Pasif dan Anticausatif dan Aspectual properties in Rotinese.








Fonologi adalah ilmu yang mempelajari fonem dalam suatu kelas bunyi yang secara fonetis mirip dan memperlihatkan pula distribusi yang khas (Gleason, 1956:261). Istilah fonologi seringkali disamakan dengan fonetik yaitu ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya untuk membahas makna (Kridalaksana, 2008:63).
Fonetik sendiri adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna; fonetik dibedakan menjadi tiga jenis yaitu fonetik akustik yang menyelidiki bunyi menurut aspek fisiknya sebagai getaran suara, fonetik auditoris, dan fonetik organis yang menyelidiki bunyi hasil dari alat-alat bicara (Verhaar, 1981:12). Yang akan dibicarakan dalam bagian ini adalah fonetik organis yang menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat bicara. Suatu bunyi yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti kata itu dari kata yang lain disebut fonem (Pateda, 1994:59; bandingkan Kridalaksana 2008:62). Fonem didefinisikan sebagai satuan bunyi tutur terkecil yang dapat dibedakan arti (Samsuri, 1980:131).
Secara fonetik, bahasa Rote memiliki sejumlah bunyi bahasa yang dapat dikelompokan menjadi bunyi vokal, bunyi semi-vokal, bunyi konsonan, dan bunyi pranasal (Balukh, 2007:xv-xvi). Selain itu terdapat pula bunyi diftong dalam bahasa Rote.

2.1 Vokal
Vokal disebut juga vokal tunggal atau monoftong. Vokal merupakan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara, dan tanpa penyempitan dalam saluran suara di atas glotis (Kridalaksana, 2008:256). Bunyi vokal merupakan suara yang dihasilkan dalam rongga yang dibentuk oleh bagian atas saluran pernapasan (Martinet, 1987:52).
Secara fonemis, bahasa Rote memiliki 5 fonem vokal yaitu /a/, /e/, /i/, /o/, dan /u/ (bandingkan Fanggidaej, 1892; Balukh, 2007:xv; Fanggidae dkk 1998:11). Namun secara fonetis, apabila bunyi vokal diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur dan bentuk bibir, maka bunyi vokal dalam bahasa Rote dapat diklasifikasikan menjadi 7 bunyi vokal yaitu [i], [u], [e], [ε], [o], [Ɔ], dan [a].
Selain itu terdapat pula bunyi vokal pendek dan bunyi vokal panjang. Pateda (1994:63) mengemukakan adanya vokal panjang dan vokal pendek, apabila ditentukan berdasarkan lamanya alat bicara dapat dipertahankan. Bunyi vokal panjang biasanya ditandai dengan pemberian titik dua (:) setelah bunyi vokal, seperti [u:], [a:], dan [i:] (lih. Marsono, 1993), selain itu juga dengan ditandai dengan pemberian tanda garis pada bagian atas vokal, misalnya [ū], [ō], [ā], dan [ī] (lih. Martinet, 1987). Bisa juga bunyi vokal panjang ditandai dengan penulisan vokal rangkap seperti [oo], [uu], [aa], dan [ii](lih. Parera, 1986). Untuk menandai bunyi vokal panjang dalam bahasa Rote, digunakan penulisan vokal rangkap.
1. Bunyi vokal [i]; Bunyi [i] disebut bunyi vokal tinggi depan tertutup tak bundar. Contoh dalam kata ita [ita] ‘kita’, ni’ak [ni?ak] ‘semut’, dan bi’i lombo [bi?i lсmbс] ‘domba’. Selain itu terdapat bunyi [i] pendek dan panjang. Bunyi [i] pendek seperti pada kata ufi [ufi] ‘ubi’, hataholi [hataholi] ‘orang’, fini [fini] ‘benih’ (Dengka), lilik [lilik] ‘lilin’ dan fadik [fadik] ‘adik’. Sedangkan bunyi [i] panjang biasanya ditulis dengan dua vokal [ii], misalnya dalam kata sakasi [sakasii] ‘saksi’, bi [bii] ‘takut’, kalis [kaliis] ‘liar’, dan lili [liilii] ‘lupa’.
2. Bunyi vokal [u]; bunyi vokal [u] disebut bunyi vokal tinggi belakang tertutup dan bulat. Contoh pada kata ulek [ulεk] ‘periuk’, manu [manu] ‘ayam’, kulak [kulak] ‘kalajengking’, dan la’us [la?us] ‘kaktus’. Bunyi [u] juga terdapat bunyi pendek dan bunyi panjang seperti dalam contoh palu [palu] ‘memaku’ dan palu [paluu] ‘perlu’. Bunyi [u] dalam kata pertama diucapkan pendek sedangkan pada contoh kedua diucapkan panjang.
3. Bunyi vokal [e]; bunyi vokal [e] disebut juga bunyi vokal tengah atas depan semi tertutup tak bulat. Bunyi ini diucapkan seperti bunyi [e] dalam kata enak, eja, dan elang dalam Bahasa Indonesia. Contoh dalam bahasa Rote pada kata emi [emi] ‘kalian’, elus [elus] ‘pelangi’, dan eda’ [eda?] ‘tangga’. Bunyi [e] juga terdapat bunyi pendek dan bunyi panjang, misalnya [e] pada kata fela [fela] ‘parang’ diucapkan pendek sedangkan pada kata le [lee] ‘batu tulis’ diucapkan panjang.
4. Bunyi vokal [ε]; bunyi [ε] disebut juga bunyi vokal tengah bawah depan semi-terbuka tak bulat. Bunyi [ε] apabila sebagai fonem maka dapat dilambangkan dengan /é/ (Martinet, 1987:53). Diucapkan seperti bunyi [e] pada kata ‘pesek’, ‘cerewet’, dan ‘nenek’ dalam Bahasa Indonesia. Contoh dalam bahasa Rote pada kata ha’de [ha?dε] ‘padi’, fe’ek [fε?εk]‘lain’, dan dele [dεlε] ‘getar’. Bunyi [ε] terdapat bunyi pendek dan bunyi panjang. Bunyi [ε] pendek dalam kata ele [εlε] ‘sana’, sele [sεlε] ‘tanam’, dan meo [mεс] ‘kucing’. Sedangkan bunyi [ε] panjang dalam kata fe [fεε] ‘beri’, nambale [nambalεε] ‘kentara’, dan se [sεε] ‘siapa’.
5. Bunyi vokal [o]; bunyi vokal [o] disebut juga bunyi vokal tengah atas belakang semi-tertutup bulat. Diucapkan seperti bunyi [o] dalam kata ‘orang’ dan ‘roti’ dalam Bahasa Indonesia. Contoh dalam bahasa Rote yaitu pada kata ofak [ofak] ‘kapal’, osi [osi] ‘kebun’, dan longga [loŋga] ‘kandang’. Terdapat pula bunyi vokal [o] pendek misalnya nggola [ŋgola] ‘memanah’ dan bunyi panjang misalnya pada kata ko [koo] ‘memanah’.
6. Bunyi vokal [Ɔ]; bunyi [Ɔ] disebut juga bunyi vokal tengah bawah belakang semi-terbuka bulat. Bunyi [ε] apabila sebagai fonem maka dapat dilambangkan dengan /ó/ (Martinet, 1987:53). Diucapkan seperti bunyi [o] pada kata ‘oto’ dan ‘kado’ dalam Bahasa Indonesia. Contoh dalam bahasa Rote seperti pada kata enok [εnƆk] ‘jalan’, oko [ƆkƆ] ‘nyiru’, dan se’o [sε?Ɔ] ‘jual’. Bunyi ini juga terdapat bunyi pendek dan panjang. Contoh pada kata dodo [dƆdƆ] ‘bunuh, sembelih’ dan dodo [dƆƆdƆƆ] ‘sebentar’. Bunyi [Ɔ] pada kata pertama diucapkan pendek sedangkan pada kata kedua diucapkan panjang.
7. Bunyi Vokal [a]; bunyi vokal [a] disebut bunyi vokal rendah depan terbuka tak bulat. Bunyi ini terdapat bunyi pendek dan bunyi panjang. Contoh bunyi [a] pendek pada kata nita [nita] ‘(dia) melihat’, nasu [nasu] ‘pipi’, dan mba [mba] ‘daging’. Contoh bunyi [a] panjang pada kata nita [nitaa] ‘(dia) menjawab’, napa [napaa] ‘berbunyi’ dan ndan [ndaan] ‘benar’.
Untuk lebih jelas tentang bunyi vokal dalam bahasa Rote, perhatikan tabel di bawah ini.
Vokal Tinggi Rendah Lidah Gerak Lidah Striktur

Bentuk Bibir
[i] Tinggi depan tertutup tak bulat
[u] Tinggi belakang tertutup Bulat
[e] tengah atas depan semi-tertutup tak bulat
[ε] tengah bawah depan semi-terbuka tak bulat
[o] tengah atas belakang semi-tertutup Bulat
[Ɔ] tengah bawah belakang semi terbuka Bulat
[a] Rendah Depan terbuka tak bulat
Dari tabel di atas, dapat digambarkan bagan bunyi bahasa Rote berdasarkan bentuk lidah (alat ucap) pada gambar di bawah ini.
Depan Tengah Belakang
Tinggi [i]
[u]
Madya atas
Madya bawah [e]
[ε]
[o]
[Ɔ]
Rendah [a]


2.2 Diftong dan Deret Vokal
Diftong disebut juga vokal rangkap dua (Pateda, 1994:63). Kridalaksana (2008:49) mendefinisikan diftong sebagai bunyi bahasa yang pada waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak-gerik lidah dan perubahan tamber satu kali, dan yang berfungsi sebagai inti dari suku kata. Diftong hanya terdapat pada satu suku kata. Apabila terdapat dua vokal tetapi yang satu dapat dimasukan ke dalam suku kata yang lain maka dapat disebut sebagai diftong.
Ciri dari diftong adalah waktu diucapkan, posisi lidah yang satu dengan yang lain saling berbeda. Perbedaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya atau jarak lidah dengan laingit-langit (Marsono, 1993:50).
Dalam bahasa Rote, hanya terdapat dua bunyi diftong yaitu [ou] dan [ei]. Dalam distribusinya, diftong [ou] hanya menempati posisi tengah dan akhir kata. Contoh: louk [louk] ‘kosong’, ma.nggou [ma.ŋgou] ‘(anda) memanggil’, dan touk [touk] ‘laki-laki’. Sedangkan diftong [ei] dalam distribusinya dapat penempati posisi awal, tengah dan akhir kata. Contoh: eik [eik] ‘kaki’, mei [mei] ‘meja’, a.mba.deik [a.mba.deik] ‘(saya) berdiri’, tei [tei] ‘perut’ dan beik [bei?] ‘belum’.
Diftong berbeda dengan deret vokal. Kalau diftong merupakan dua bunyi yang berada dalam satu suku kata, maka deret vokal merupakan dua bunyi vokal yang masing-masing termasuk dalam suku kata yang berbeda (Moeliono dkk, 1988:52).
Dalam bahasa Rote, terdapat 15 deret vokal yaitu /au/, /ae/, /ao/, /ai/, /ea/, /eu/, /eo/, /ua/, /ui/, /ue/, /iu/, /io/, /oe/, /oi/, dan /oa/.
Deret vokal /au/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] diucapkan diantara vokal /a/ dan /u/. misalnya: pa.u [pa.wu] ‘tikam’, ka.ka.u [ka.ka.wu] ‘nasi’, nda.nda.uk [nda.nda.wuk] ‘jarum’, ngga.uk [ŋga.wuk] ‘onak, duri’.
Deret vokal /ae/; pengucapan vokal /e/ lebih rendah [ε]. Contoh: mba.e [mba.ε] ‘bengkak’, so.lo.ka.ek [sƆ.lƆ.ka.εk] ‘pasir’, dan ka.e [ka.ε] ‘naik, panjat’.
Deret vokal /ao/; vokal /o/ diucapakan lebih rendah [Ɔ]. Contoh: ta.o [ta.Ɔ] ‘membuat’, ma.’a.o [ma.?a.Ɔ] ‘gemuk’, pa.o [pa.Ɔ] ‘mangga’, dan ko.’a.o [ko.?a.Ɔ] ‘sombong’.
Deret vokal /ai/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [y] disisipkan di antara vokal /a/ dan /i/. contoh: su.ma.i [su.ma.yi] ‘demam’, a.sa.la.i [a.sa.la.yi] ‘(saya) bersandar’, ma.i [ma.yi] ‘datang’ dan la.in [la.yin] ‘atas’
Deret vokal /ea/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [y] disisipkan di antara vokal /e/ dan /a/. contoh: ma.ne.a [ma.ne.ya] ‘(engkau) menjaga’, ma.te.a [ma.te.ya] ‘kuat’, ke.a [ke.ya] ‘kura-kura’, dan de.ak [de.yak] ‘luar’.
Deret vokal /eu/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /e/ dan /u/. contoh: ne.u [ne.wu] ‘(dia) pergi’, na.ka.le.le.u [na.ka.le.le.wu] ‘(dia) menangis tersedu-sedu’, se.u [se.wu] ‘jahit’, ma.ne.fe.uk [ma.nε.fe.wuk] ‘ipar laki-laki’, dan be.uk [be.wuk] ‘baru’.
Deret vokal /eo/; dalam pengucapannya, vokal /e/ dan /o/ diucapkan rendah ([ε] dan [Ɔ]). Contoh: ni.le.o [ni.lε.Ɔ] ‘pusing’, a.fe.ok [a.fε.Ɔk] ‘(saya) mondar-mandir’, ngge.ok [ŋgε.Ɔk], ne.o [nε.Ɔ] ‘duga, sangka’.
Deret vokal /ua/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /u/ dan /a/. Contoh: lu.a [lu.wa] ‘meluap’, mbu.a [mbu.wa] ‘pinang’, dan du.a [du.wa] ‘dua’.
Deret vokal /ui/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /u/ dan /i/. Contoh: tu.i [tu.wi] ‘cerita’, ma.nu.pu.i [ma.nu.pu.wi] ‘burung’, dan su.ik [su.wik] ‘selam’.
Deret vokal /ue/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /u/ dan /e/. bunyi vokal /e/ diucapkan lebih rendah [ε]. Contoh: ku.e [ku.wε] ‘musang’, su.su.ek [su.su.wεk] ‘kasih sayang’, fu.fu.e [fu.fu.wε] ‘kacang’, dan na.mu.ek [na.mu.wεk] ‘keributan’.
Deret vokal /iu/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /u/ dan /a/. Contoh: ma.si.u [ma.si.wu] ‘idam’, ma.ki.uk [ma.ki.wuk] ‘gelap’, dan li.un [li.wun] ‘samudera’.
Deret vokal /io/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [y] disisipkan di antara vokal /i/ dan /o/. Bunyi vokal /o/ diucapkan lebih rendah [Ɔ]. Contoh: ko.a.ki.o [ko.wa.ki.yƆ] ‘memuji (Tuhan)’, ki.o [ki.wƆ] ‘berkicau’, dan pi.o [pi.wƆ] ‘gasing’.
Deret vokal /oe/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /o/ dan /e/. Vokal /o/ dan /e/ diucapkan rendah ([Ɔ] dan [ε]). Contoh: ko.ko.e [kƆ.kƆ.wε] ‘merayu’, mbo.ek [mbƆ.wεk] ‘udang’, lo.e [lƆ.wε], dan so.e [sƆ.wε] ‘celaka’.
Deret vokal /oi/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /o/ dan /i/. Contoh: mbo.in [mbo.win] ‘puncak’, so.ik [so.wik] ‘sumbing’, do.ik [do.wik] ‘uang’, dan lo.i [lo.wi] ‘curi’
Deret vokal /oa/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara vokal /o/ dan /a/. Contoh: bo.bo.an [bo.bo.wan] ‘samping’, bo.ak [bo.wak] ‘buah’, mo.a [mo.wa] ‘gubuk’, dan ho.a [ho.wa] ‘kawin (hewan)’.

2.3 Konsonan
Menurut Fanggidaej (1892) bahasa Rote memiliki 14 fonem konsonan yaitu /b/, /d/, /f/, /h/, /k/, /l/, /m/, /n/, /nd/, /ng/, /ngg/, /p/, /s/, dan /t/. Fanggidae dkk (1998) mengemukakan adanya 15 konsonan dalam bahasa Rote yaitu /b/, /p/, /m/, /d/, /t/, /n/, /f/, /v/, /s/, /r/, /l/, /k/, /ŋ/, /?/ dan /h/ (Fanggidae dkk, 1998:17). Sedangkan Balukh (2007:xvi) menyatakan bahwa dalam konsonan terdapat 12 bunyi konsonan: [b], [p], [m], [f], [d], [t], [n], [l], [s], [k], [ŋ], [?]; 3 semi-vokal: [y], [w], dan [h]; dan 3 pranasal: [mb], [nd], dan [ŋg].
Bahasa Rote memiliki kurang lebih 19 konsonan. Hal ini didasarkan adanya variasi-variasi bunyi dalam dialek-dialek di Rote. Beberapa dialek tidak mengenal bunyi tertentu, sedangkan dialek lain mengenal bunyi itu. Misalnya bunyi pranasal [ŋg] dalam bonggi ‘lahir’ yang digunakan oleh beberapa dialek di bagian barat Rote, di Rote bagian tengah, mereka menggunakan bunyi nasal [ŋ] dalam bongi ‘lahir’, sedangkan di Rote bagian timur menggunakan bunyi hambat [k] dalam boki ‘lahir’. variasi bunyi lain misalnya bunyi lateral [l] dalam hataholi ‘orang’ yang digunakan di Rote bagian tengah sedangkan Rote bagian barat menggunakan bunyi getar [r] dalam hatahori ‘orang’.
Bunyi konsonan bahasa Rote dapat digambarkan sebagai berikut:
Daerah Artikulasi

Cara Artikulasi
bil
lab
dent
alv
pal
vel
lar
glo
Hambat b b d ?
tb p t k
Nasal b m n ŋ
tb
Pranasal b mb nd ŋg
tb
Frikatif b s h
tb f
Lateral l
Semivokal w y
Getar r
Keterangan:
b bersuara alv alveolar
tb tak bersuara pal palatal
bil bilabial vel velar
lab labiodentals lar laringal
dent dental glo glotal

1. Bunyi Konsonan [b]
Bunyi konsonan [b] disebut juga bunyi hambat bilabial bersuara. Berdistribusi hanya pada posisi awal kata dan posisi tengah kata. Contoh bunyi [b] pada posisi awal kata: bei [beyi] ‘masih’, boso’ [bƆsƆ?] ‘jangan’, boe [bƆε] ‘juga’ dan bisu [bisu] ‘luka’. Contoh [b] pada posisi tengah kata: sabu [sabu] ‘sabun’, abas [abas] ‘benang, kapas’, baba’u [baba?u] ‘kupu-kupu’, dan laba [laba] ‘panjat’.
2. Bunyi Konsonan [p]
Bunyi konsonan [p] disebut juga bunyi hambat bilabial tak bersuara. Dalam distribusinya hanya terdapat pada awal dan tengah kata. Contoh bunyi [p] pada awal kata: pilas [pilas] ‘merah’, pua [puwa] ‘pinang’, pelak [pelak] ‘jagung’, pareta [pareeta] ‘perintah’ dan pa [paa] ‘daging’. Contoh bunyi [p] pada tengah kata: lapu [lapu] ‘terbang’, sapi [sapi] ‘sapi, lembu’, sopu [sopu] ‘berburu’, dan fepa [fepa] ‘pukul’.
3. Bunyi Konsonan [m]
Bunyi konsonan [m] disebut juga bunyi nasal bilabial bersuara. Dalam distribusinya terdapat pada posisi awal, tengah dan akhir kata. Contoh bunyi [m] pada posisi awal kata: mae [maε] ‘malu’, manek [manεk] ‘raja’, manu [manu] ‘ayam’, muli [muli] ‘barat’, dan me’i [me?i] ‘mimpi’. Contoh bunyi [m] pada tengah kata: lamak [lamak] ‘belalang’, ama [ama] ‘bapak’, sumai [sumayi] ‘demam’, dan mamana [mamana] ‘tempat’. Contoh bunyi [m] pada akhir kata: ka’am [ka?am] ‘kakakmu’, to’om [tƆ?Ɔm] ‘pamanmu’, bafam [bafam] ‘mulutmu’, dan ti’ilangam [ti?ilaŋam] ‘topimu’.
4. Bunyi Konsonan [f]
Bunyi konsonan [f] disebut juga bunyi frikatif labiodental tak bersuara. Berdistribusi hanya pada posisi awal dan tengah kata. Contoh pada awal kata: falu [falu] ‘delapan’, fela [fela] ‘parang’, fini [fini] ‘benih’, fafaik [fafayik] ‘pagi’.
5. Bunyi Konsonan [d]
Bunyi konsonan [d] disebut bunyi hambat dental bersuara. Berdistribusi pada awal dan tengah kata. Contoh pada awal kata: dalek [dalεk] ‘dalam’, dope [dƆpε] ‘pisau’, dan da’i [da?i] ‘daki’. Contoh pada tengah kata: sadi [sadi] ‘asalkan’, tuda [tuda] ‘jatuh’, fadik [fadik] ‘adik’, dan madak [madak] ‘kering’.
6. Bunyi Konsonan [t]
Bunyi konsonan [t] disebut juga bunyi hambat dental tak bersuara
7. Bunyi Konsonan [n] nasal dental bersuara
8. Bunyi Konsonan [l] lateral dental bersuara
9. Bunyi Konsonan [s] frikatif alveolar bersuara
10. Bunyi Konsonan [k] hambat velar tak bersuara
11. Bunyi Konsonan [ŋ] nasal velar bersuara
12. Bunyi Konsonan [?] hambat glottal tak bersuara
13. Bunyi Konsonan [mb] pranasal bilabial bersuara
14. Bunyi Konsonan [nd] pranasal dental bersuara
15. Bunyi Konsonan [ŋg] pranasal velar bersuara
16. Bunyi Konsonan [y] semivokkal palatal
17. Bunyi Konsonan [w]
Bunyi konsonan [w] disebut bunyi semi-vokal bilabial. Dalam distribusinya biasa muncul pada awal kata seru misalnya we [wεε] ‘kata seru memanggil orang’. Sedangkan muncul di tengah kata yang memiliki deret vokal /au/seperti pau [pawu] ‘tikam’, kakau [kakawu] ‘nasi’, dan bauk [bawuk] ‘kelelawar’; deret vokal /eu/seperti neu [newu] ‘(dia) pergi’, seu [sewu] ‘jahit’, dan beuk [bewuk] ‘baru’; Deret vokal /ua/seperti lua [luwa] ‘meluap’, pua [puwa] ‘pinang’, dan dua [duwa] ‘dua’; Deret vokal /ui/seperti tui [tuwi] ‘cerita’, dan suik [suwik] ‘selam’; Deret vokal /ue/seperti sue [suwε] ‘sayang’, fufue [fufuwε] ‘kacang’, dan napue [napuwε] ‘keributan’; Deret vokal /iu/ seperti: makiu [makiwu] ‘gelap’, dan liun [liwun] ‘samudera’; Deret vokal /oe/ seperti kokoe [kƆkƆwε] ‘merayu’, poek [pƆwεk] ‘udang’, loe [lƆwε], dan soe [sƆwε] ‘celaka’; Deret vokal /oi/ seperti poin [powin] ‘puncak’, soik [sowik] ‘sumbing’, doik [dowik] ‘uang’, dan loi [lowi] ‘curi’; Deret vokal /oa/ seperti boak [bowak] ‘buah’, moa [mowa] ‘gubuk’, dan hoa [howa] ‘kawin (hewan)’.
18. Bunyi Konsonan [h]
Bunyi konsonan [h] disebut bunyi frikatif laringal bersuara. Berdistribusi pada awal dan tengah kata. Contoh pada awal kata: henuk [henuk] ‘penuh’, hela [hela] ‘tarik’, hotu [hotu] ‘bakar’, ho’i [ho?i] ‘ambil’, dan hila [hila] ‘mencari (kutu)’. Contoh pada tengah kata: tehu [tεhuu] ‘tetapi’, matahik [matahiik] ‘miring’, nakahina [nakahina] ‘(dia) terluka’, dan hohongge [hƆhƆŋgε] ‘selingkuh’.
19. Bunyi Konsonan [r]
Bunyi konsonan [r] disebut bunyi geletar alveolar. Dalam distribusinya terdapat pada posisi awal, tengah dan akhir kata. Contoh pada posisi awal kata: ria [riya] ‘dia’, rita [rita] ‘(mereka) lihat’, raso [rasƆ] ‘racun’, rates [ratεs] ‘kubur’, dan reke [rεkε] ‘hitung’. Contoh pada tengah kata hara [hara] ‘suara’, sira [sira] ‘mereka’, berak [berak] ‘berat’, dan here [hεrε] ‘pilih’. Contoh pada akhir kata: hatahorir [hatahorir] ‘orang (jamak)’, meser [mεsεr] ‘guru (jamak)’, anggor [aŋgƆr] ‘anggur’, dan iar [iyar] ‘ini semua’.

2.4 Pola Suku Kata
Pola suku kata bahasa Rote terdiri dari 1) V misalnya i dalam kata i.nak ‘perempuan’, a dalam kata du.a ‘dua’, dan u dalam kata neu ‘baru’; 2) VK misalnya uk dalam kata ba.uk ‘kelelawar’, in dalam kata la.in ‘atas’, dan ok dalam kata la.la.ok ‘bersih’; 3) KV seperti ma, lo, le dalam ma.lo.le ‘baik’, sa, ngga dalam sa.ngga ‘cari’, dan nda dalam ba.nda ‘hewan’; 4) KVV seperti nggou dalam la.nggou ‘(mereka) memanggil’ dan mei dalam na.la.mei ‘(dia) menjilat’; 5) KVK seperti nis dalam di.nis ‘embun’, ser dalam me.ser ‘guru’, kes dalam ma.kes ‘masam’, dan tuk dalam ma.nga.tuk ‘duduk’; 5) KVVK seperti louk dalam louk ‘kosong’, deik dalam a.mba.deik ‘(saya) berdiri’, dan touk dalam touk ‘laki-laki’; 6) KKV seperti ‘de dalam na.’de ‘nama’.

2.5 Variasi Fonologis
Bahasa Rote yang terdiri dari berbagai dialek mempunyai beragam variasi. Variasi ini secara potensial dapat disebut sebagai pengaruh dari letak geografis, sehingga dapat disebut juga variasi dialektais.
Variasi ditinjau dari segi fonologis dapat didefinisikan sebagai sebuah ragam yang terdapat dalam lingkungan yang sama, terutama dalam kata yang tidak berbeda maknanya. Variasi bentuk ini disebut dengan variasi bebas (Kridalaksana, 2008: 253).
Variasi [r] dan [l]. dalam beberapa dialek dalam Bahasa Rote, terjadi variasi bunyi [r] dan bunyi [l] dalam varian yang mengandung makna yang sama. Misalnya [l] dalam kata hataholi ‘orang’ yang digunakan oleh orang Loleh, di Thie mereka menggunakan [r] dalam hatahori ‘orang’. Contoh lain rae ‘(mereka) mengatakan’, reke ‘menghitung’, barakai ‘tenaga, kekuatan’, dan nggari ‘membuang’ yang digunakan oleh dialek Thie, maka dialek Termanu, Loleh, Keka, dan Ba’a menggunakan lae ‘(mereka) mengatakan’, leke ‘menghitung’, balakai ‘tenaga, kekuatan’, dan nggali ‘membuang’.
Variasi [r], [n], dan [nd]. Orang Ringgou, Landu dan Oepao menyebut bara ‘hewan’ dan ere ‘rendam’, maka di Termanu, Keka dan Talae menggunakan bana ‘hewan’ dan ene ‘rendam’, sedangkan orang Loleh, Ba’a, Dengka, Oenale dan Thie menggunakan banda ‘hewan’ dan ende ‘rendam’.
Variasi [ŋg], [ŋ], dan [k]. Sebagian besar dialek-dialek di Rote bagian barat (Loleh, Ba’a, Dengka, Oenale, dan Thie) menggunakan [ŋg], misalnya dalam kata saŋga ‘cari’, tuŋga ‘ikut’, dan heŋge ‘ikat’. Orang Ringgou, Landu, Bilba, Lelenuk, dan Oepao (Rote Timur) menggunakan [k] dalam kata saka ‘cari’, tuka ‘ikut’, dan heke ‘ikat’. Sedangkan orang Termanu, Keka, Talae, dan Bokai menggunakan saŋa ‘cari’, tuŋa ‘ikat’, dan heŋe ‘ikat’.
Variasi [mb] dan [p]
Variasi [k] dan [?]
Variasi [a] dan [e] –fade, ume,
Variasi [a], [i] dan [u] dalam pemarkah klitik pronomina.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kamus bahasa rote

nusak di Pulau Rote --- Leksi Ingguoe